HAKIKAT MANUSIA
DAN
PERSOALAN PENDIDIKAN
A. Hakikat Manusia
Manusia pada hakikatnya diciptakan untuk mengemban tugas-tugas pengabdian kepada Penciptanya. Agar tugas-tugas dimaksud dapat dilaksanakan dengan baik, maka Sang Pencipta telah menganugerahkan manusia seperangkat potensi yang dapat ditumbuhkembangkan. Potensi yang siap pakai tersebut dianugerahkan dalam bentuk kemampuan dasar, yang hanya mungkin berkembang secara optimal melalui bimbingan dan arahan yang sejalan dengan petunjuk Sang Penciptanya.
Mengacu kepada prinsip penciptaan ini maka menurut filsafat pendidikan manusia adalah makhluk yang berpotensi dan memiliki peluang untuk dididik. Pendidikan itu sendiri, pada dasarnya adalah aktivitas sadar berupa bimbingan bagi penumbuh-kembangan potensi Ilahiyat, agar manusia dapat memerankan dirinya selaku pengabdi Allah secara tepat guna dalam kadar yang optimal. Dengan demikian pendidikan merupakan aktivitas yang bertahap, terprogram, dan berkesinambungan.
Banyak hal secara parsial yang bersangkutan dengan manusia sudah diketahui secara jelas dan pasti. Tapi secara utuh menyeluruh jauh lebih banyak persoalan yang belum dapat diketahui secara konkret, jelas dan pasti. Dengan perkataan lain, hal-hal yang fisis kuantitatif pada umumnya sudah jelas, tetapi hal-hal yang spiritual kualitatif masih tetap tertinggal sebagai ‘misteri’.
Manusia siapapun tahu bahwa melakukan perbuatan tertentu yang mengakibatkan banyak orang sakit dan menderita adalah merusak nilai kemanusiaan. Tetapi fakta menunjukkan bahwa perilaku negatif seperti itu selalu mewarnai kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti bahwa pengetahuan manusia belum terhubungkan secara kausalistik fungsional dengan realitas konkret perilaku sehari-hari.
Dari kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku tersebut, munculah upaya untuk mempertemukannya, yaitu melalui ‘pendidikan’. Sepanjang eksistensinya, manusia senantiasa berusaha mendidik dirinya dengan mencari dan menemukan keselarasan antara pengetahuan dengan perilakunya, meski sampai hari ini belum sepenuhnya berhasil. Di dalam konteks pendidikan, manusia adalah makhluk yang selalu mencoba memerankan diri sebagai subyek dan objek. Sebagai subyek dia selalu berusaha mendidik dirinya (sebagai objek) untuk perbaikannya perilakunya.
Kehidupan cenderung terpusat pada kepentingan di mana manusia menjadi titik sentral. Dalam keadaan demikian, manusia memposisikan dan memerankan diri di atas segala-galanya dan karena itu memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan potensi alam termasuk dirinya sendiri dan sesamanya. Di bawah kekuasaan manusia kehidupan ini berlangsung menjadi ‘antroposentrik’.
1. Manusia Makhluk Berpengatahuan
Berbeda dengan makhluk lainnya, manuia lahir dengan potensi kodratnya berupa cipta, rasa dan karsa. Dengan ketiga potensinya itu, manusia selalu terdorong untuk ingin tahu dan bahkan mendapatkan nilai- nilai kebenran keindahan dan kebaikan yang terkandung di dalam segala sesuatu yang ada (realitas ini). Ketiga jenis nilai tersebut selanjutnya dijadikan landasan dasar untuk mendirikan filsafat hidup, menentukan pedoman hidup, dan mengatur sikap dan perilaku hidup agar senantiasa tearah ke pencapaian tujuan hidup.
Filsafat hidup mengandung pengetahuan yang bernilai universal meliputi masalah-maslah tentang asal mula kehidupan, tujuan dan eksistensi kehidupan. Ketiganya berhubungan menurut azas 'sebab-akibat' Pedoman hidup, adalah pengetahuan umum yang khusus dijadikan suatu prinsip yang dianggap benar karena sesuai dengan hakikat asal muala dan berguna bagi pencapaian tujuan kehidupan.
Sedangkansikap dan perilaku kehidupan adalah pengetahuan khusus konkret berupa setiap langkah kehidupan yang ditentukan sepenuhnya oleh pedoman hidup.
2. Manusia makhluk Berpendidikan
Sejak lahir seorang manusia sudah langsung terlibat di dalam kegiatan pendidikan dan pembelanjaran. Dia dirawat, dijaga, dilatih dan dididik oleh orang tuanya, keluarganya dan masyarakatnya menuju tingkat kedewasaan dan kematangan, sampai kemudian terbentuk potensi kemandirian dalam mengelola kelangsungan kehidupannya. Kegiatan pendidikan dan pembelanjaran itu diselenggarakan mulai dari cara-cara konvensional (alami) menurut pengalaman hidup, sampai pada cara-cara formal (pendidikan sekolah). Setelah taraf kedewasaan dicapai, manusia tetap melanjutkan kegiatan pendidikan dalam rangka pematangan diri. Pada pokoknya, persoalan pendidikan adalah persoalan yang lingkupannya seluas persoalan kehidupan manusia itu sendiri. Jadi, anatara manusia dan pendidikan terjalin hubungan kausalitas. Karena manuasia, maka pendidikan mutlak ada; dan karena pendidikan manusia semakin menjadi diri sendiri sebagai manusia yang manusiawi.
Manusia dan Pendidikan
Hubungan antara manusia dengan pendidikan diawali dari pertanyaan: "apakah manusia dapat dididik?. Ataukah manusia dapat bertumbuh dan berkembang sendiri menjadi dewasa tanpa perlu dididik?. Kedua pertanyaan itu sejak lama telah menjadi bahan kajian para ahli didik barat, ya~tu sejak zaman Yunani kuno. Pendapat yang umumnya dikenal
4
dalam pendidikan Barat mengenai mungkin tidaknya manusia dididik terangkum dalam tiga aliran filsafat pendidikan. Aliranaliran tersebut adalah nativisme, empirisme, dan kovergensi.
Menurut nativisme, manusia tidak perlu dididik, sebab perkembangan manusia sepenuhnya oleh bakat yang secara alami sudah ada pada dirinya. ditentukan
Sedangkan menurut penganut empirisme adalah sebaliknya. Perkembangan dan pertumbuhan manusia sepenuhnya ditentukan oleh lingkungannya. Dengan demikian aliran ini memandang pendidikan berperan penting dan sangat menentukan arah perkembangan manusia (Jalaluddin dan Ali Ahmad Zen, 1996:52).
Adapun aliran ketiga, yaitu konvergensi merupakan perpaduan an- tara kedua pendapat tersebut. Menurut mereka memang manusia memiliki kemampuan dalam dirinya (bakat/potensi), tetapi potensi itu hanya dapat berkembang jika ada pengarahan pembinaan serta bimbingan dari luar (lingkungan). Harus ada perpaduan antara faktor dasar (potensi dan bakat) dan ajar (bimbingan) . Perkembangan seorang manusia tidak hanya ditentukan oleh kemampuan potensi/ bakat yang dibawanya. Tanpa ada intervensi dari luar (lingkungan) bakat/ potensi seseorang tak mungkin berkembang dengan baik.
Lebih jauh Kohnstamm menambahnya dengan kemauan. Dengan demikian menurutnya, kemampuan seseorang akan berjalan dengan baik dan dapat dikembangkan secara maksimal, apabila ada perpaduan antara faktor dasar (potensi), faktor ajar (bimbingan) serta kesadaran dari individu itu sendiri untuk mengembangkan dirinya. Jadi disamping faktor potensi bawaan dan bimbingan dari lingkungan, untuk mengembangkan diri, seseorang perlu didorong oleh motivasi intrinsik (dorongan dari dalam dirinya).
Ketiga aliran filsafat pendidikan Barat ini menampilkan dua pandangan yang berbeda tentang hubungan manusia dan pendidikan.Pertama berpandangan pesimis (nativisme), sedangkan alirank e d u a memiliki pandangan yang optimis (empirisme dan konvergensi). Tetapi tampaknya dalam perkembangan berikutnya pandangan yang kedua (optimisme) lebih dominan. Manusia memang hampir tak mungkin dapat berkembang secara maksimal tanpa intervensi pihak luar, dan oleh sebab itu manusia memerlukan pendidikan.
3. Manusia Makhluk Berkebudayaan
Dengan kegiatan pendidikan dan pembelajaran terus-menerus, menghasilkan ilmu pengetahuan yang sarat dengan nilai kebenaran baik yang universal abstrak, teoritis maupun yang praktis. Nilai kebenaran ini selanjutnya mendorong terbentuknya sikap perilaku arif dan berkeadilan yang dapat membangun kebudayaan dan peradaban manusia.
Seseorang disebut berkebudayaan jika senantiasa berkemampuan untuk melakukan pembatasan diri dan menjalani kehidupannya menurut 'azas kecukupan' (basic needs) bukan menurut keinginan.
B. Filosofi Kehidupan
Realitas kehidupan ini sarat persoalan yang berjenis, berbentuk dan bersifat heterogen. Tetapi secara filosofis persoalan tersebut dapat disederhanakan menjadi tiga titik saja. Pertama, titik 'asal mula' yang diatandai dengan peristiwa 'Kelahiran'. Kedua, titik 'tujuan' yang ditandai degan peristiwa 'kematian'. Ketiga, titik 'eksistensi' berupa garis lurus perjalanan kehidupan manusia, yang menghubungkan antara kedua titik terdahulu.
Secara filosofis, titik asal mula dan tujuan adalah dua identik berada di dunia 'metafisis'. Karena sifat fisisnya, maka dunia eksistensi ini sering diposisiskan secara saling bertentangan dengan dunia metafisis. Dari kedua dunia
tersebut, jika direnungi dan kemudian dinilai, maka dunia fisis eksistensi ini adalah merupakan sumber atau akar dari segala macam persoalan kehidupan. Oleh sebab itu, agar segala macam persoalan itu bukan memisahkan tetapi justru mempersatukan, maka :
a. Secara filosofis perlu dirumuskan arti hakikat asal mula dan tujuan kehidupan
dan
b.Dalam kegiatan pendidikan, hakikat asal mula dan tujuan kehidupan itu perlu
ditanamkannnya dalam perilaku kehidupan, agar segala macam persoalan itu dapat dikoordinasikan secara fungsional untuk kemudian dikembangkan secara pragmatik telleologis menurut hakikat asal mula dan tujuan tersebut.
C. Problematika Pendidikan Dalam Kehidupan
Selama setengah abad lebih, sejak perang kemerdekaan, terjadi perubahan-perubahan situasi politik, hankam, dan ekonomi mendominasi program nasional. Pembangunan sosial budaya dan pendidikan belum pernah diutamakan. Padahal kita sadari bahwa manusia berposisi sentral sebagai ujung tombak pembangunan. Pendidikan adalah jalan utama untuk mencapai sebuah pembangunan. Pendidikan adalah sesuatu yang mutlak bagi sebuah pembangunan, termasuk pembangunan manusianya. Karena hanya dengan jalan itu, warga masyarakat dapat menjaga unsur-unsur yang aktif dalam membangun masyarakat baru yang lebih baik.
Pendidikan adalah investasi utama dalam pembangunan. Pendidikan bertugas membentuk manusia-manusia yang ingin, sanggup dan mampu membagun masyarakat yang di cita-citakan. Pendidikan adalah mendidik dan menerampilkan manusia pembagunan itu sendiri. Kemajuan pembangunan jepang dan jerman sesudah perang dunia II (setelah mereka kalah dan hancur) menunjukkan bahwa faktor manusialah yang terpenting. Tantangan bagi bangsa berkembang umumnya seperti kita di Afrika dan Asia, bukan sekedar mengejar ketinggalan dalam pembagunan, juga untuk menemukan jalan yang bardaya guna
untuk membangun kemanusiaan serta kemasyarakatan baru. Bukan sekedar maju ilmu dan teknologi/industri yang terpenting juga adalah tinggi mentalitas atau moralitasnya serta manfaat dalam sikap hidup.
Pembangunan yang dikehendaki bukanlah sekedar dalam arti yang di pertunjukan oleh berbagai negeri "maju" yang telah menimbulkan berbagai krisis multidimensi dewasa ini. Juga bukan dalam arti yang di pertunjukan berbagai negara berkembang yang mendahulukan pembangunan ekonomi dan menunda sosial kultural, yang mengakibatkan pula terjadinya krisis demi krisis berupa kepincangan-kepincangan sosial,menyempitnya ruang gerak dan merosotnya tingkat hidup rakyat banyak. .Juga, sambil menghasilkan kemewahan untuk segelintir masyarakat elite dan sebagainya. Dua-duanya bukan membawa rasa kemajuan dan kebahagiaan, justru rasa kemerosotan kualitas hidup.
Sebenarnya pendidikan memiliki dua unsur; pembangunan manusianya (character building), serta pembangunan kecerdasan /ketrampilan, penguasaan ilmu dan teknologi. Yang pertama, untuk memproduksi manusia berakhlak, yang mampu menjawab tantangan kemanusiaan dari zaman ini. Yang kedua, untuk membangun manusia yang berilmu dan berkepandaian yang mampu menjawab tantangan-tantangan dalam hal kebutuhan-kebutuhan material dan teknologi dari perkembangan masyarakat.
Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Sang Pencipta sebagai tujuan akhir. Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa, “Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap si terdidik dalam hal perkembangan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
8
Dalam tujuan Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan ditujukan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas yang dideskripsikan dengan jelas dalam UU No. 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani, berjiwa patriotik, cinta tanah air, mempunyai semangat kebangsaan, kesetiakawanan sosial, kesadaran pada sejarah bangsa, menghargai jasa pahlawan, dan berorientasi pada masa depan.
Pendidikan tidak hanya untuk kepentingan individu atau pribadi, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 1990. Selain pendidikan dipusatkan untuk membina kepribadian manusia, pendidikan juga diperuntukkan guna pembinaan masyarakat.
Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama dengan sebaik-baiknya.